Menelusuri Sejarah Literasi Kita (Konsep Dasar Literasi)

KONSEP DASAR LITERASI

SEJARAH LITERASI MASYARAKAT INDONESIA

SEJARAH LITERASI MASYARAKAT INDONESIA
Sejarah Literasi


Menelusuri literasi masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang, melampaui peluncuran pertama kali UNESCO pada tahun 1946 mengenai global literacy effort. Menurut para arkeolog, filolog dan antropolog bahwa literasi tulis-menulis di nusantara sudah berkembang mulai abad 5 masehi sejak kehadiran Hindu dan Budha serta tercatat di abad 13 ketika agama Islam datang.

Ditinjau dari perspektif ini maka masyarakat nusantara dan bangsa Indonesia secara empirik tidak dapat dipungkiri telah tumbuh dan berkembang literasinya.

Literasi pada mulanya lebih diartikan sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf ataupun bisa membaca.

Seiring dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, maka konsep dan definisi serta pemaknaan literasi kian kompleks dan variatif.


Benarkah pandangan tradisi bertutur yang telah mengakar, tumbuh dan berkembang di masyarakat menghambat literasi membaca (reading literacy)?

Sesungguhnya justru kelisanan dan literasi berkelindan dalam konteks sosio historis yang unik. Relasi antara tradisi bertutur (orality) dan literasi, sangat kompleks dan harus dipandang secara komprehensif.

Ditinjau dari keterampilan berbahasa (language skills), terdapat hubungan yang sangat erat antara kecakapan berbahasa lisan dengan kesiapan membaca.

Anak-anak memperoleh pengetahuan awal mereka mengenai kerja literasi didapatkan dari proses-proses yang mana mereka mempelajari bahasa lisan. Kian kaya anak-anak mendapatkan keluasan dan keragaman kosa kata, ujaran yang jelas dan lancar, kian melengkapi kekayaan bahasa mereka secara kognitif untuk mendukung kesiapan keterampilan membaca mereka.


Di masyarakat terdapat tuntutan bahwa anak-anak usia dini harus diajarkan membaca, menulis dan berhitung (calistung). Tepatkah mereka digegas untuk bisa calistung?

Untuk anak usia dini yang terpenting adalah ditumbuhkan minat, kegemaran dan budaya literasinya. Belajar membaca dan menulis tidak memerlukan pelajaran privat khusus.

Alih-alih melalui pembelajaran langsung dan formal, anak-anak mempelajari bahasa tulis melalui interaksi dengan orang dewasa dalam situasi keaksaraan, dengan menjelajah sendiri berbagai tulisan.

Anak melalui pengamatan terhadap orangtuanya, menggunakan bahasa tulis untuk berkomunikasi. Mereka ‘mempelajari’ bahasa tulis dengan cara alamiah seperti dalam mempelajari bahasa lisan.


Pada pendidikan anak usia dini maupun taman kanak-kanak apabila mereka hanya melakukan aktivitas bermain maka dipandang bahwa mereka tidak belajar, mereka tidak berliterasi. Apa pendapat bapak ibu?

Dunia anak usia dini (0-6 tahun atau 0-8 tahun) adalah dunia bermain. Cara belajar anak usia dini adalah dengan dan melalui bermain.

Bermain adalah suatu kegiatan mengasyikkan yang membuat anak-anak tenggelam dalam keasyikan tersebut.

Literasi seharusnya berupa berbagai aktivitas yang menyenangkan dan mengasyikkan. Literasi justru dapat tumbuh berkembang dan dibudayakan melalui bermain.

Dengan bermain, anak-anak tidak sekedar tumbuh dan berkembang literasi baca, tulis dan berhitungnya, bahkan kemampuan-kemampuan literasi yang lainnya.


Benarkah definisi dan konsepsi literasi hanya semata-mata aktivitas membaca aksara (huruf)?

Dalam istilah Yunani, grammatikos, diambil dari bahasa Latin, littera/litera, artinya huruf alfabet. Dari konsep dan definisi literasi awal ini tampaknya yang menimbulkan kesalahfahaman apa itu literasi. 

Mereka yang tidak dapat membaca aksara akan dilabeli dengan ’tuna aksara’. Dalam ranah semiotika, teks adalah simbol yang memiliki makna dan berfungsi sebagai medium komunikasi.

Teks bisa disimbolkan berupa aksara (huruf), angka dan gambar (visual). Maka membaca seharusnya tidak lagi hanya dimaknai sebagai aktivitas membaca teks dalam bentuk tertulis.

Termasuk di dalam literasi membaca diantaranya juga membaca tanda-tanda alam sebagaimana yang sudah lazim dilakukan oleh manusia di manapun berada.

Masyarakat nusantara mempraktikkan membaca bintang-bintang di langit untuk menentukan arah (navigasi), rasi Waluku (orion) dipakai para petani untuk menentukan masa tanam dan panen dan sebagainya.


Betulkah literasi hanya diidentikkan dengan keterampilan membaca dan tidak ada kaitannya dengan aktivitas menyimak dan berbicara serta aktivitas visual?

Konsep literasi sesungguhnya mencakup keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Satu dengan yang lainnya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan.

Literasi kekinian dapat dikembangkan melalui penerapan keempat keterampilan itu dengan pemanfaatan berbagai variasi media yang ada secara fungsional.

Strategi, metode, dan tekniknya tentu diaktualisasikan sesuai kebutuhan, tuntutan dan gaya hidup serta perilaku saat ini.

Oleh karenanya, media multimodal, media yang melibatkan dua atau lebih sistem semiotika baik bahasa lisan dan tulis, audio, visual, audiovisual, gestur dan teks spasial, menjadi bagian penting dari kehidupan siswa.


Literasi adalah pelajaran bahasa dan sastra. Oleh karenanya literasi sepenuhnya merupakan kompetensi dan tanggung jawab guru pelajaran bahasa dan sastra. Apa pendapat bapak ibu mengenai hal ini?

Sebenarnya jika literasi disematkan kepada hampir setiap topik, literasi dapat menggantikan istilah ‘pengetahuan’.

Bahkan ternyata sejak tahun 1940, istilah literasi sering digunakan dalam artian memiliki pengetahuan maupun keterampilan di satu bidang tertentu, seperti:

  1. Literasi keuangan, 
  2. Literasi budaya, 
  3. Literasi sains, 
  4. Literasi komputer,
  5. Literasi statistik, 
  6. Literasi media, 
  7. Literasi sosial, 
  8. Literasi ekologis, 
  9. Literasi bencana,
  10. Literasi kesehatan dan sebagainya.

Materi ini di kutip dari Pengantar Program bimtek daring guru belajar seri literasi dan numerasi yang di susun oleh bapak Tjahjo Suprajogo. Semoga bermanfaat.

Posting Komentar untuk "Menelusuri Sejarah Literasi Kita (Konsep Dasar Literasi)"